Sejak
munculnya puisi “Aku” di film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC), nama Chairil Anwar seakan
melejit bagaikan roket. Sastrawan yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” ini memang sudah tidak ragukan lagi kemampuannya
dalam mengolah kata-kata.
Terbukti lewat karya-karyanya yang mengandung makna
puitis mendalam yang terkenal hingga ke mancanegara. Karya-karya Chairil Anwar
sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, yakni Inggris, Jerman, Spanyol
dan juga Rusia.
Chairil
Anwar merupakan sastrawan ternama Indonesia yang dinobatkan sebagai pelopor
Angkatan ’45 oleh HB. Jassin sekaligus awal dari lahirnya puisi modern di
Indonesia. Tulisan-tulisan Chairil banyak dipengaruhi oleh pengarang
internasional pada jaman itu, seperti Edgar du Perron, Rainer Maria Rilke, W.H
Aiden dan lain-lain. Kesemua pengarang itu sudah terbilang memiliki nama yang
besar di dunia sastra.
Riwayat Singkat Chairil Anwar
Dia lahir di
Medan pada 26 Juli 1922 dan meninggal di usia yang masih sangat muda, 26 tahun
pada 28 April 1949. Chairil Anwar masih memiliki hubungan keluarga dengan Sutan
Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama.
Chairil
terlahir sebagai anak tunggal yang memiliki sifat yang sangat keras kepala dan
ingin menguasai segala hal sendiri. Walaupun anak tunggal, ia tidak pernah
merasa dimanjakan karena hubungan kedua orang tuanya tidak begitu baik. Chairil
Anwar memiliki nenek yang sangat akrab dengan dirinya dan ketika neneknya
meninggal ia benar-benar merasa kehilangan.
Perkenalan
Chairil muda dengan dunia sastra dimulai ketika usia 19 tahun, setelah
perceraian orangtuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke kota Batavia
(Jakarta). Satu tahun kemudian setelah berumur 20 tahun, namanya mulai dikenal
lewat puisi yang berjudul Nisan pada
1942.
Pada tahun
yang sama Jepang mulai menjajah Indonesia, puisi-puisi Chairil Anwar diawasi
secara ketat sehingga banyak hasil karyanya tidak dapat dipublikasi. Ia hanya
bisa mengedarkan puisi-puisi lewat kertas-kertas yang berkualitas murah.
Untungnya semua kesulitan itu berakhir saat memasuki tahun 1945.
Satu tahun
kemudian, Chairil Anwar menikah dengan seorang wanita bernama Hapsah Wiraredja
pada 6 Agustus 1946. Mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Evawani
Alissa. Sayangnya, pernikahan itu tidak bertahan lama dan pada akhir tahun 1948
mereka bercerai karena masalah ekonomi.
Dibalik
semua bakat puitisnya, Chairil Anwar ternyata memiliki kondisi fisik yang
sangat buruk. Sebelum menginjak usia 27 tahun dan setelah perceraiannya,
Chairil Anwar menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 28 April 1949
pukul setengah tiga sore. Penyebab kematiannya tidak diketahui secara pasti,
mungkin lebih disebabkan oleh TBC. Ia dirawat di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
karena tifus, namun ia sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang
kemudian membuat ususnya pecah. Chairil dimakamkan sehari kemudian di TPU Karet
Bivak, Jakarta. Makamnya selalu diziarahi oleh penggemar dari masa ke masa.
Sosok Chairil memang sangat menginspirasi dunia sastra Indonesia sehingga
dianggap sebagai maestro sastra modern.
Ketika
hidup, puisi-puisi yang dibuatnya memiliki beragam tema, seperti
individualisme, eksistensialisme, pemberontakan, multi-interpretasi hingga
kematian. Karya yang sudah dihasilkan Chairil berjumlah 94 karya, termasuk 70
buah puisi, namun hingga ia meninggal banyak yang tidak dipublikasikan.
8 Puisi Legendaris Chairil Anwar
Setelah
biografi singkat Chairil Anwar di atas, tanpa berbasa-basi lagi, berikut ini
adalah delapan buah puisi karya Chairil Anwar yang populer untuk Anda baca dan
simak maknanya satu per satu. Ini dia !
AKU
Kalau
sampai waktuku
‘Ku
mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak
juga kau
Tak
perlu sedu sedan itu
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan
akan lebih mudah tidak perduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi
Akhir
Hayat
CINTAKU JAUH DI PULAU
Gadis
manis, sekarang iseng sendiri
Perahu
melancar, bulan memancar
di
leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin
membantu, laut terang, tapi terasa
aku
tidak ‘kan sampai padanya
Di
air yang tenang, di angin mendayu
di
perasaan penghabisan segala melaju
Ajal
bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan
perahu ke pangkuanku saja”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu
yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa
ajal memanggil dulu
Sebelum
sempat berpeluk dengan cintaku
Manisku
jauh di pulau,
kalau
‘ku mati, dia mati iseng sendiri
DERAI-DERAI CEMARA
Cemara
menderai sampai jauh
terasa
hari akan jadi malam
ada
beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul
angin yang terpendam
Aku
sekarang orangnya bisa tahan
sudah
berapa waktu bukan kanak lagi
tapi
dulu memang ada suatu bahan
yang
bukan dasar perhitungan kini
Hidup
hanya menunda kekalahan
tambah
terasing dari cinta sekolah rendah
dan
tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum
pada akhirnya kita menyerah
KARAWANG-BEKASI
Kami
yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak
bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang
kami maju dan mendegap hati?
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami
mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang,
kenanglah kami.
Kami
sudah coba apa yang kami bisa
Tapi
kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami
cuma tulang-tulang berserakan
Tapi
adalah kepunyaanmu
Kaulah
lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau
jiwa kami yang melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau
tidak untuk apa-apa,
Kami
tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah
sekarang yang berkata
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang,
kenanglah kami
Teruskan,
teruskan jiwa kami
Menjaga
Bung Karno
menjaga
Bung Hatta
menjaga
Bung Sjahrir
Kami
sekarang mayat
Berikan
kami arti
Berjagalah
terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang,
kenanglah kami
yang
tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu
kami terbaring antara Karawang-Bekasi
KEPADA PEMINTA-MINTA
Baik,
baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi
jangan tentang lagi aku
Nanti
darahku jadi beku
Jangan
lagi kau bercerita
Sudah
tercacar semua di muka
Nanah
meleleh dari muka
Sambil
berjalan kau usap juga
Bersuara
tiap kau melangkah
Mengerang
tiap kau memandang
Menetes
dari suasana kau datang
Sembarang
kau merebah
Mengganggu
dalam mimpiku
Menghempas
aku di bumi keras
Di
bibirku terasa pedas
Mengaum
di telingaku
Baik,
baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi
jangan tentang lagi aku
Nanti
darahku jadi beku
KEPADA KAWAN
Sebelum
ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam
dari belakang ‘tika kita tidak melihat
selama
masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum
bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak
lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar
merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan,
mari kita putuskan kini di sini:
Ajal
yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi
gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus
jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk
kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih
kuda yang paling liar, pacu laju
Jangan
tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan
lagi apa yang kau perbuat,
Hilang
sonder pusaka, sonder sahabat
Tidak
minta ampun akan segala dosa,
Tidak
memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
Mari
kita putuskan sekali lagi:
Ajal
yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali
lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan
pedangmu hingga ke hulu
Pada
siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini
kali tidak ada yang mencari cinta
di
antara rumah tua, pada cerita
tiang
serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus
diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis
mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung
muram, desir hari lari berenang
menemu
bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan
kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada
lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir
semenanjung, masih pengap harap
sekali
tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari
pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta
Pattirajawane
Yang
dijaga datu-datu
Cuma
satu
Beta
Pattirajawane
Kikisan
laut
Berdarah
laut
Beta
Pattirajawane
Ketika
lahir dibawakan
Datu
dayung sampan
Beta
Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta
api di pantai. Siapa mendekat
Tiga
kali menyebut beta punya nama
Dalam
sunyi malam ganggang menari
Menurut
beta punya tifa,
Pohon
pala, badan perawan jadi
Hidup
sampai pagi tiba
Mari
menari!
Mari
beria!
Mari
berlupa!
Awas
jangan bikin beta marah
Beta
bikin pala mati, gadis kaku
Beta
kirim datu-datu!
Beta
ada di malam, ada di siang
Irama
ganggang dan api membakar pulau...
Beta
Pattirajawane
Yang
dijaga datu-datu
Cuma
satu
Demikian
delapan buah puisi karya Chairil Anwar
yang legendaris dan penuh makna dalam setiap kata-katanya. Banyak sekali
nilai-nilai positif yang dapat dipetik dari puisi-puisi tersebut.
Semoga dapat
menghibur hati yang sedang gundah sekaligus sebagai pembelajaran terutama bagi
kaum muda jaman sekarang. Terima kasih.
Sumber :
obatrindu.com
0 komentar:
Post a Comment