Puisi
yang sudah berkembang sejak berabad-abad silam sudah pasti memiliki banyak
genre. Genre-genre itu bahkan bisa mencapai puluhan genre tergantung pada
periode yang diwakilinya.
Ada puisi abad pertengahan, zaman renesains, awal abad 20-an dan lain sebagainya.
Ada puisi abad pertengahan, zaman renesains, awal abad 20-an dan lain sebagainya.
Salah
satu dari genre puisi baru itu adalah puisi elegi. Diambil dari bahasa Yunani “elegeia” yang berarti ratapan atau
kesedihan. Tema yang selalu diangkat dalam puisi ini seperti rasa duka cita atau rindu yang
teramat dalam.
Bahkan lebih gelap lagi yaitu kematian dan juga hal-hal yang bersifat misterius. Sosok seperti Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan puisi elegi. Berikut ini adalah contoh puisi elegi dalam bahasa Indonesia untuk Anda.
Bahkan lebih gelap lagi yaitu kematian dan juga hal-hal yang bersifat misterius. Sosok seperti Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan puisi elegi. Berikut ini adalah contoh puisi elegi dalam bahasa Indonesia untuk Anda.
1. Hampa
Sepi di luar. Sepi
menekan mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Tak satu kuasa melepas renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
Karya : Chairil
Anwar
2. Senja di Pelabuhan Kecil
Ini kali tidak ada
yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali.
Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau
berpaut
Gerimis mempercepat kelam
Ada juga kelepak elang menyinggung muram
Desir hari lari berenang menemu bujuk
pangkal akanan
Tidak bergerak dan kini tanah air tidur
hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendirian.
Berjalan menyisir semenanjung
Masih pengap harap
Sekali tiba di ujung
Dan sekalian selamat jalan dari pantai
keempat
Sedu penghabisan bisa terdekap
Karya : Chairil Anwar
3. Kesaksian Akhir Abad
Ratap tangis
menerpa pintu kalbuku.
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor!
Bagaimana aku akan bisa
membaca keadaan ini?
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor!
Bagaimana aku akan bisa
membaca keadaan ini?
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!
O,
Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersekutukan budaya tanah dan air!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersekutukan budaya tanah dan air!
O,
Resi Kuturan! O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga oleh dewan hukum adat.
O, bagaimana aku bisa mengerti bahasa bising dari
bangsaku ini?
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga oleh dewan hukum adat.
O, bagaimana aku bisa mengerti bahasa bising dari
bangsaku ini?
O,
Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.
O,
lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasatmata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasatmata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.
O,
anak cucuku di zaman Cybernetic!
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?
Dengan
puisi ini aku bersaksi
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukum yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang tinggi
adalah hukum yang ditulis di atas air
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukum yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang tinggi
adalah hukum yang ditulis di atas air
WS
Rendra, Doa Untuk Anak Cucu,
(Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016, hlm. 34-35
4. Sia - Sia
Penghabisan
kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu
Lalu
kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari
kita bersama. Tak gampir-menghampiri.
Ah!
Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Februari,
1943
Karya : Chairil Anwar
5. Elegi Nelayan Tua
Lelaki tua itu
tersengguk-sengguk di emper gubuk
Bulan layu rendah di langit
Air mulai surut
dan terlena digerogoti mimpi
Sebentar lagi subuh tiba
Inikah impian penghabisan seorang nelayan
Kaki dan tangan kaku dibelasah encok
Dada seperti terbakar batuk batuk batuk
Berteman dengan bulan dan air surut air
pasang
Kokok ayam dan cicit murai
Menyambut pagi
Yang bukan lagi miliknya?
Panorama masa lalu tergambar di layar
langit
dengan kail memancing ikan ikan ikan
sembilang tenggiri selar dingkis tamban
jahan
ikan ikan ikan
pancing bubu belat kelong jala jaring
Selamat tinggal?
Encok yang datang marilah kamu
Batuk yang masuk teruskan jalanmu
ikan-ikan masa lalu
ikan-ikanku besok
Dan pertarungan akan berlanjut
terus!
Karya : Idrus Tintin, Buku Waktu, 1990
Demikian
beberapa contoh puisi elegi yang sudah saya tunjukkan. Silakan baca genre-genre
puisi dalam artikel berikutnya. Saya ucapkan terima kasih. (dari berbagai sumber)
0 komentar:
Post a Comment