Saturday, 24 March 2018

5 Contoh Karya Puisi Elegi Bahasa Indonesia


Puisi yang sudah berkembang sejak berabad-abad silam sudah pasti memiliki banyak genre. Genre-genre itu bahkan bisa mencapai puluhan genre tergantung pada periode yang diwakilinya.
Ada puisi abad pertengahan, zaman renesains, awal abad 20-an dan lain sebagainya.

Salah satu dari genre puisi baru itu adalah puisi elegi. Diambil dari bahasa Yunani “elegeia” yang berarti ratapan atau kesedihan. Tema yang selalu diangkat dalam puisi ini seperti rasa duka cita atau rindu yang teramat dalam. 

Bahkan lebih gelap lagi yaitu kematian dan juga hal-hal yang bersifat misterius. Sosok seperti Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan puisi elegi. Berikut ini adalah contoh puisi elegi dalam bahasa Indonesia untuk Anda.     

1.    Hampa

       Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
       Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
       Sampai ke puncak. Sepi memagut
       Tak satu kuasa melepas renggut
       Segala menanti. Menanti. Menanti
      
       Sepi
       Tambah ini menanti jadi mencekik
       Memberat mencekung punda
       Sampai binasa segala. Belum apa-apa
       Udara bertuba. Setan bertampik
       Ini sepi terus ada. Dan menanti

       Karya : Chairil Anwar

2.    Senja di Pelabuhan Kecil
      
       Ini kali tidak ada yang mencari cinta
       Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
       Tiang serta temali.
       Kapal, perahu tiada berlaut
       Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

       Gerimis mempercepat kelam
       Ada juga kelepak elang menyinggung muram
       Desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan
       Tidak bergerak dan kini tanah air tidur hilang ombak

       Tiada lagi. Aku sendirian.
       Berjalan menyisir semenanjung
       Masih pengap harap
       Sekali tiba di ujung
       Dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat
       Sedu penghabisan bisa terdekap

       Karya : Chairil Anwar

3.    Kesaksian Akhir Abad

      Ratap tangis menerpa pintu kalbuku.
 Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
 O, tikar tafakur!
 O, bau sungai tohor yang kotor!
 Bagaimana aku akan bisa
 membaca keadaan ini?

       Di atas atap kesepian nalar pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!

O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersekutukan budaya tanah dan air!

O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga oleh dewan hukum adat.
O, bagaimana aku bisa mengerti bahasa bising dari
bangsaku ini?

O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.

O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasatmata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.

O, anak cucuku di zaman Cybernetic!
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?

Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukum yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang tinggi
adalah hukum yang ditulis di atas air

WS Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, (Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016, hlm. 34-35

4.    Sia - Sia
      
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak gampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Februari, 1943

       Karya : Chairil Anwar

5.    Elegi Nelayan Tua

       Lelaki tua itu tersengguk-sengguk di emper gubuk
       Bulan layu rendah di langit
       Air mulai surut
       dan terlena digerogoti mimpi

       Sebentar lagi subuh tiba
       Inikah impian penghabisan seorang nelayan
       Kaki dan tangan kaku dibelasah encok
       Dada seperti terbakar batuk batuk batuk
      
       Berteman dengan bulan dan air surut air pasang
       Kokok ayam dan cicit murai
       Menyambut pagi
       Yang bukan lagi miliknya?

       Panorama masa lalu tergambar di layar langit
       dengan kail memancing ikan ikan ikan
       sembilang tenggiri selar dingkis tamban jahan
       ikan ikan ikan
       pancing bubu belat kelong jala jaring

       Selamat tinggal?
       Encok yang datang marilah kamu
       Batuk yang masuk teruskan jalanmu
       ikan-ikan masa lalu
       ikan-ikanku besok
      
       Dan pertarungan akan berlanjut
       terus!

       Karya : Idrus Tintin, Buku Waktu, 1990

Demikian beberapa contoh puisi elegi yang sudah saya tunjukkan. Silakan baca genre-genre puisi dalam artikel berikutnya. Saya ucapkan terima kasih. (dari berbagai sumber)

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © . Borneo '92 - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger