Monday, 26 March 2018

5 Contoh Puisi Satire Bahasa Indonesia




Puisi satire adalah salah satu genre puisi yang bersifat menyindir atau kritikan atas sebuah fenomena yang terjadi. Seringkali disampaikan dengan kata-kata yang penuh ironi, sarkasme dan sedikit parodi di dalamnya.
Sebagian besar puisi satire membahas dinamika kehidupan sosial dan politik suatu negara atau pemerintahan.  

Istilah satire sendiri berasal dari bahasa Latin “satura” yang berarti sindiran. Kata-kata pada puisi satire banyak berupa analogi tapi sangat keras dan tajam. Sebuah karikatur juga bisa disebut satire karena berupa gambar humor penuh sindiran. Unsur komedi di dalam satire ada yang muncul secara tak langsung dan ada yang memang sengaja dihadirkan oleh si penulis.     

Khusus untuk Anda, berikut ini adalah beberapa contoh puisi satire dari sejumlah sastrawan ternama Indonesia.

1.    Otak Sudah Ke Dengkul
Jika tiba-tiba kami melawan,
itu karena lapar t’lah dibangunkan,
dan perut kami yang lengket
menagih waktu untuk cerewet.

Jika mendadak kami protes,
itu karena minum tinggal setets,
dan kantong kami yang kempes
tak kuat lagi membeli segelas es.

Jika kami serentak berdemo,
itu karena mata bosan melongo,
dan tampang kami yang bego
ingin juga berlagak sontoloyo.

Jika kami bersegera kumpul,
itu karena otak sudah ke dengkul,
dan logika kami yang tumpul
tidak mau lagi dipaksa mandul.
       April 2016

       Chandra Malik, Asal Muasal Pelukan (Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016), hlm. 132

2.    Pertanyaan Penting
Indonesia indah melimpah.
Di samping sumur pohon jambu berkembang.
Di laut ikan cakalang dan lumba-lumba.
Lalu kenapa kamu bunuh Marsinah?
Kenapa kamu bunuh para petani di Sampang, Madura?
Apakah tak kamu lihat kupu-kupu menari?
Ayam berkotek dan burung bernyanyi?
Wahai kamu ksatria yang perkasa!
Kenapa kamu bunuh Marsinah?
Apakah derita buruh-buruh mengganggu tidur siangmu?
Kenapa kamu bunuh para petani di Sampang?
Apakah kamu ksatria yang membela penindasan?
Apakah kamu tidak pernah membayangkan
dengas erang ibumu
waktu ia melahirkan kamu?
Apakah kamu tak pernah lihat aadikmu menari,
dan mendengar nenekmu menembang?
Kenapa kamu jarah nyawa Marsinah?
kamu jarah nyawa petani di Sampang,
yang berjuang untuk hak nafkahnya
yang sesuai dengan undang-undang?
Sedang dengan garang kamu membela
Para cukong yang menjarah ekonomi bangsa.
Wahas para ksatria perkasa,
di mana kampung halamanmu?
Siapakah ibumu?
Siapa saudara dan saudarimu?
Waktu uang rakyat dibawa lari ke luar negeri,
waktu daula hukum dikhianati,
dan daulat rakyat dijarah oleh tirani,
di mana kami berdiri, ksatriaku?
Kenapa kamu bunuh Marsinah?
Kenapa kamu bunuh para petani di Sampang, Madura?
Kenapa kamu bunuh Udin, Moses,
dan di Trisakti 4 orang mahasiswa?
Siapakah ibumu, para ksatria?
………………………………………………..
Surabaya, 21 Juni 1998
WS Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, (Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016), hlm. 25-26
3.    Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame hari itu.
Aku tak mengenalnya,hanya dari koran,
tidak begitu jelas memang,
kenapanya atau bagaimananya
(bukankah semuanya
demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan
untuk mencintainya.

Ia bukan mahasiswaku. Dalam kelas mungkin saja
ia suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau diam saja kalau ditanya,
atau sudah terlanjur bodoh sebab ikut saja
setiap ucapan gurunya.
Atau malah terlalu suka
membaca sehingga semua guru jadi asing baginya.

Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati;
begitu berita yang ada di koran pagi ini–
entah kenapa aku mencintainya
karena itu.

Aneh, koran ternyata bisa juga
membuat hubungan antara yang hidup
dan yang mati, yang tak saling mengenal.

Siapa namanya, mungkin disebut di koran,
tapi aku tak ingat lagi,
dan mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
mati hari itu–dan ada saja yang jadi ribut.

Di negeri orang mati, mungkin ia sempat
merasa was-was akan nasib kita
yang telah meributkan mahasiswa mati.
       Sapardi Djoko Damono, Ayat-Ayat Api

4.    Diponegoro

       Di masa pembangunan ini
       Tuan hidup kembali
       Dan bara kagum menjadi api
       Di depan sekali tuan menanti
       Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
       Pedang di kanan. Keris di kiri
       Berselempang semangat yang tak bisa mati
      
       Maju
       Ini barisan tak bergenderang-berpalu
       Kepercayaan tanda menyerbu
       Sekali berarti
       Sudah itu mati

       Maju
       Bagimu negeri
       Menyediakan api
       Punah di atas menghamba
       Binasa di atas ditindas
       Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
       Jika hidup harus merasai
       Maju. Serbu. Serang. Terjang

       Karya : Chairil Anwar

5.    1 Jam Bersama Rakyat

      Berkacamatalah dengan pantatku
Namaku bukan untukmu
Tempatkanlah.
Di sisi mana.
Cari sendiri, kau bukan binatang
Tak perlu di atur seperti binatang
Cumi – cumi jalan miring
Kau lebih pandai dari cumi – cumi
Jalanmu lurus tapi berbau busuk
Lidahmu mengambang
Di lalap api kebohongan
Aku berdiri disini.
Menyaksikan dengan rakyat
Betapa indahnya tenggorokanmu
Berbicara tentang kebohongan
Perutmupun ikut bicaca
Penamupun ikut bicara
Jarimupun ikut bergerak
Kakimupun menyertainya.
Mata telinga mu pun jadi saksi
Mulutmu tidak bisa diam
Hambir sama dengan ketutku
Berbau busuk.
Pantatku lebih indah dari mulutmu
Aku berdiri.
Menyaksikan kepahitan rakyat
Aku pun tidak bisa berbuat apa – apa
Kalian lebih tau dari pada aku
Ini suara kami.
Meraung – raung
Tidak seperti kalian menjilat – jilat
Pantatku yang menjijikkan
Semoga kalian mendengar
Tak mengurusi perut kalian lagi

       Karya : Dalang Wanataka

Demikian contoh-contoh puisi satire pada artikel kali ini. Semoga bisa bermanfaat. Terima kasih.

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © . Borneo '92 - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger